Rabu, 25 November 2009

IPDN


Noldy dan Sherly Muntu berusaha untuk tegar ketika menerima telepon dari Presiden SBY Sabtu malam lalu. Sebagai orang beriman, mereka berserah diri kepada Tuhan, tetapi sebagai orang tua dari Cliff Muntu, praja IPDN yang tewas menjadi korban kekerasan seniornya, tentu saja peristiwa itu tidak bisa diterima begitu saja. Anak lelaki sematawayang mereka yang bercita-cita menjadi pamong praja profesional, menjadi Camat, atau yang lebih tinggi lagi, tak akan pernah mencapai cita-citanya itu. Ia pulang tak bernyawa, menjadi korban kekerasan yang seakan menjadi tradisi di kampus kebanggaannya. Bukankah IPDN sudah berubah? Bukankah tewasnya Wahyu Hidayat beberapa tahun lalu telah menjadi pelajaran berharga? Bukankah Presiden SBY pun telah menginstruksikan kepada Mendagri, kepada Rektor STPDN, untuk melakukan perubahan mendasar agar budaya kekerasan itu diberantas sampai ke akar-akarnya? Bukankah STPDN pun telah diubah menjadi IPDN? Bukankah telah dua kali Presiden SBY mengingatkan dengan tegas dalam acara wisuda di IPDN tentang mengikis habis budaya kekerasan itu?
Bahkan dalam pidatonya setiap kali wisuda itu Presiden SBY menjelaskan tentang hubungan senior dan yunior yang ideal. Yunior menghormati seniornya, sebaliknya senior membimbing yuniornya. Presiden SBY pun menjelaskan tentang sosok pamong praja yang dibutuhkan negara dan rakyat Indonesia, yaitu pamong praja yang senantiasa berpikir dan bertindak untuk melindungi, melayani, dan meningkatkan taraf hidup rakyatnya. Pelayan masyarakat yang mengayomi dengan cinta kasih dan membimbing dengan kesabaran dan persuasi.
Dalam negara demokratis, di mana rakyat yang berdaulat, tak ada tempat lagi untuk kepemimpinan dan kekuasaan yang bersandarkan pada kekerasan. Karena kepemimpinan yang didasarkan pada kekerasan adalah warisan kekuasaan yang otoriter, bahkan fasis.
Yang kita butuhkan adalah pamong praja, bukan preman praja, bukan tukang pukul yang berseragam pamong praja. Dan tugas IPDN, mulai dari rektor, dosen, pembina, dan pengasuh untuk memastikan bahwa putra-putra terbaik bangsa yang dididiknya benar-benar menjadi civil servant, pelayan rakyat, yang profesional.
Presiden SBY kecewa dengan IPDN. Kita semua kecewa dengan IPDN, walaupun kita bukan Noldy dan Sherly Muntu. Ini persoalan kemanusiaan. Peristiwa kekerasan yang membawa korban tewas, yang berulang dan berulang lagi di IPDN, mengusik rasa kemanusiaan kita.
Tidak heran jika banyak sekali SMS masuk kepada Presiden yang meminta agar IPDN dibubarkan saja. Kita bisa mengerti perasaan publik seperti itu. Tetapi kita tidak bisa larut dalam emosi sesaat. Ini harus dipikirkan dengan jernih. Memang harus dilakukan perubahan yang fundamental di IPDN. Untuk itu perlu dibentuk tim evaluasi yang independen tentang keberadaan IPDN itu sendiri. Presiden SBY telah memerintahkan Rektor IPDN untuk memberi laporan pertanggungjawaban kepada Presiden pada hari ini.
Ketika ditelepon oleh Presiden SBY, Noldy dan Sherly Muntu justru meminta Presiden SBY memperhatikan ribuan praja yang sedang belajar di IPDN sekarang ini, agar jangan sampai nasibnya seperti putra mereka. Cukup mereka saja yang kehilangan dan tak perlu lagi ada yang lain. Ibu Negara yang juga menyempatkan diri berbicara dengan Sherly Muntu, hampir kehilangan kata-kata. Semua orang tua pasti merasakan kesedihan Keluarga Muntu. Dan Presiden SBY pun menyampaikan tekadnya untuk menggunakan kekuasaan yang ada padanya sebagai Presiden Republik Indonesia agar tak ada lagi korban seperti Cliff Muntu atau Wahyu Hidayat yang lain.
CATATAN: Artikel ini dikutip dari harian Jurnal Nasional, Senin, 9 April 2007

1 komentar: